DASAR-DASAR FILOSOFIS ILMU OLAHRAGA(Suatu
Pengantar)
Made Pramono
Intisari:
Sport in our society is a part of
common daily activity, andalso is an art of competition. Various aspects
involved in sport eventssuch as human resources, buildings, investments,
equipments, andanyother needs. Internal problems such as efforts to gain the
best position in local, national, and international events implicate so
manyother problems. Beside those problems, sport develops in anyscientific
studies like Psychology of Sport, Politics of Sport, LawStudy of Sport, etc.
All of those scientific studies are dimensions inwhich sport requires an
academic conscience in investigating philosophical foundations of sport as
science.
Kata Kunci:
Ilmu Olahraga, kesadaran, dasar
filosofis.Kesadaran bahwa olahraga merupakan ilmu secara internasional
mulaimuncul pertengahan abad 20, dan di Indonesia secara resmi dibakukan
melaluideklarasi ilmu olahraga tahun 1998. Beberapa akademisi dan masyarakat awammemang
masih pesimis terhadap eksistensi ilmu olahraga, khususnya diIndonesia,
terutama dengan melihat kajian dan wacana akademis yang masihsangat terbatas
dan kurang integral. Namun sebagai suatu ilmu baru yang diakuisecara luas, ilmu
olahraga berkembang seiring kompleksitas permasalahan yangada dengan
ketertarikan-ketertarikan ilmiah yang mulai bergairah menunjukkaneksistensi
ilmu baru ini ke arah kemapanan.Filsafat, dalam hal ini dianggap memiliki
tanggung jawab penting dalammempersatukan berbagai kajian ilmu untuk dirumuskan
secara padu danmengakar menuju ilmu olahraga dalam tiga dimensi ilmiahnya
(ontologi,epistemologi dan aksiologi) yang kokoh dan sejajar dengan ilmu lain.
Ontologimembahas tentang apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain merupakan pengkajian
mengenai teori tentang ada. Dasar ontologi dari ilmu berhubungandengan materi
yang menjadi obyek penelaahan ilmu, ciri-ciri esensial obyek ituyang berlaku
umum. Ontologi berperan dalam perbincangan mengenai pengembangan ilmu, asumsi
dasar ilmu dan konsekuensinya pada penerapanilmu. Ontologi merupakan sarana
ilmiah untuk menemukan jalan penangananmasalah secara ilmiah (Van Peursen,
1985: 32). Dalam hal ini ontologi berperandalam proses konsistensi ekstensif
dan intensif dalam pengembangan ilmu.Epistemologi membahas secara mendalam
segenap proses yang terlibatdalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Ini
terutama berkaitan denganmetode keilmuan dan sistematika isi ilmu. Metode
keilmuan merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran,
pola kerja, cara teknis, dantata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau
mengembangkan yangtelah ada. Sedangkan sistimatisasi isi ilmu dalam hal ini
berkaitan dengan batang
Penulis adalah dosen Fakultas
Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Surabaya

Made, Dasar-dasar Filosofis
139tubuh ilmu, di mana peta dasar
dan pengembangan ilmu pokok dan ilmu cabangdibahas di sini.Aksiologi ilmu
membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang
didapatnya. Bila persoalan
value free
dan
value
bound
ilmumendominasi fokus perhatian
aksiologi pada umumnya, maka dalam hal pengembangan ilmu baru seperti
olahraga ini, dimensi aksiologi diperluas lagisehingga secara inheren mencakup
dimensi nilai kehidupan manusia seperti etika,estetika, religius (sisi dalam)
dan juga interrelasi ilmu dengan aspek-aspek kehidupan manusia dalam
sosialitasnya (sisi luar aksiologi). Keduanyamerupakan aspek dari permasalahan
transfer pengetahuan.Relevansi filosofis ini pada gilirannya mensyaratkan pula
komunikasilintas, inter dan muiltidisipliner ilmu-ilmu terkait dalam upaya
menjawab persoalan dan tantangan yang muncul dari fenomena keolahragaan.
Dengan katalain, proses timbal balik yang sinergis antara khasanah keilmuan dan
wilayah praksis muncul, dan menjadi tanggungjawab filsafat untuk
mengkritisi,memetakan dan memadukan hal tersebut. Filsafat ilmu olahraga,
dengan titik tekan utama pada tiga dimensi keilmuan ini – ontologi,
epistemologi, aksiologi – mengeksplorasi ilmu olahraga ini secara mendalam.
Ekstensifikasi danintensifikasi menjadi permasalahan yang amat menentukan
eksistensi dan perkembangan ilmu keolahragaan lebih jauh dari hasil
eksplorasi ini.
Akar Eksistensi Olahraga
Olahraga, sebagaimana yang dikatakan
Richard Scaht (1998: 124), sepertihalnya sex, terlalu penting untuk dikacaukan
dengan tema lain. Ini tidak hanyatentang latihan demi kesehatan. Tidak hanya
permainan untuk hiburan, ataumenghabiskan waktu luang, atau untuk kombinasi
dari maksud sosial danrekreasional. Olahraga adalah aktivitas yang memiliki
akar eksistensi ontologissangat alami, yang dapat diamati sejak bayi dalam
kandungan sampai dengan bentuk-bentuk gerakan terlatih.Olahraga juga
adalah permainan, senada dengan eksistensi manusiawisebagai makhluk bermain (
homo ludens
-nya Huizinga). Olahraga
adalahtontonan, yang memiliki akar sejarah yang panjang, sejak jaman Yunani
Kunodengan
arete, agon,
pentathlon
sampai dengan
Olympic Games
di masa modern,di mana dalam
sejarahnya, perang dan damai selalu mengawal peristiwakeolahragaan itu.
Olahraga adalah fenomena multidimensi, seperti halnyamanusia itu sendiri.Mitos
dan agama Yunani awal menampilkan suatu pandangan dunia yangmembantu
perkembangan kesalinghubungan intrinsik antara makna olahraga dan budaya
dasar. Keduanya juga merefleksikan kondisi terbatas dari eksistensikeduniaan,
dan bukan sebagai kerajaan transenden dari pembebasan. Nuansakeduniawian tampak
pula pada ekspresi naratif tentang kehidupan, rentang luas pengalaman
manusiawi, situasionalnya dan suka dukanya. Manifestasi kesakralanterwujud
dalam prestasi dan kekuasaan duniawi, kecantikan visual dan campurandari daya
persaingan mempengaruhi situasi kemanusiaan (Hatab, 1998: 98).
Jurnal Filsafat, Agustus 2003,
Jilid 34, Nomor 2
140Budaya Yunani Kuno juga
sepenuhnya bersifat
agon
, persaingan. Puisi- puisi
Homer dan Hesiod menampilkan diri sebagai konflik di antara
daya-daya persaingan. Wajah realitas Yunani Kuno juga mewujud dalam
daya-daya persaingan ini: atletik, keindahan fisik, kerajinan tangan,
seni-seni visual,nyanyian, tarian, drama dan retorika (Crowell, 1998:
7).Signifikansi
agon
dapat lebih dipahami dari pandangan
tentang idealkepahlawanan. Dalam
Iliad
-nya Homer, keberadaan manusia
secara esensialadalah
mortal
dan terarah pada takdir negatif
melampaui kendali manusia.Kematian dapat mencapai kompensasi istimewa:
keduniawian, kejayaan dankemasyhuran melalui pengambilan resiko dan
pengkonfrontasian kematian padamedan perang, melalui pengujian keberanian
manusia melawan satria lain dankekuatan nasib. Hal terpenting di sini adalah
bahwa makna keutamaan terhubungdengan batas-batas dan resiko. Dapat
digeneralisir – dalam
Iliad
itu – bahwatanpa kemungkinan untuk
kalah atau gagal, kemenangan atau keberhasilan tak akan berarti apa-apa
(Hatab, 1998: 98).Atletik (olahraga, dalam tulisan ini kadang-kadang disebut
dengan atletik untuk kepentingan penyesuaian konteks) berperan penting
dalam dunia YunaniKuno. Kata atletik berarti konflik atau perjuangan, dan dapat
secara langsungdiasosiasikan dengan persaingan, di mana kompetisi di
tengah-tengah kondisiketerbatasan mambangkitkan makna dan keutamaan. Apa yang
membedakankontes atletik dari hal-hal lain dalam budaya Yunani adalah bahwa
atletik menampilkan dan mengkonsentrasikan elemen-elemen duiniawi
dalam penampilan fisik dan keahlian, keindahan tubuh, dan hal-hal khusus
dari tontonandramatis (Hatab, 1998: 99).Kontes atletik, seperti yang tampak
dalam
Iliad
, menunjukkan penghargaanyang tinggi
masyarakat Yunani terhadap olahraga yang terrepresentasikansebagai semacam
ritual agama dan terorganisir dalam mana kompetisi-kompetisifisik ditampilkan
sebagai analog
mimetic
(secara menghibur) dari
penjelasanagama – baik tentang nasib dan kepahlawanan – dan sebagai penjelmaan
rincisignifikansi kultural
agon.
Sekarang, signifikansi
olahraga menurun di dunia Yunani, justru dengandatangnya statemen-statemen
filsafat sebagai kompetitor kultural. Nilai pentingdari tubuh dan aksi secara
bertahap dikalahkan oleh tekanan pada pikiran danrefleksi intelektual.
Ketertarikan terhadap transendensi spiritual dan tertib alammenggeser pengaruh
mitos-mitos dan religi seperti dijelaskan di atas. MeskipunPlato dan
Aristoteles mengusung nilai penting latihan fisik dalam pendidikan,namun mereka
memulai sebuah revolusi intelektual yang meremehkan nilai penting kultural
keolahragaan – “remeh” justru karena keterkaitan erat olahragadengan tubuh,
aksi, perjuangan, kompetisi dan prestasi kemenangan (Hatab,1998: 99).
Ekspresi Filosofis Kultur Olahraga
Friederich Nietzsche (terkenal
dengan tesisnya: “Tuhan telah mati”)termasuk filsuf yang pemikiran-pemikirannya
berhutang banyak pada dunia
Academia © 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar