Selasa, 15 April 2014

Filosofis Ilmu Keolahragaan




Bottom of Form
DASAR-DASAR FILOSOFIS ILMU OLAHRAGA(Suatu Pengantar)

 

 Made Pramono

 

Intisari:
Sport in our society is a part of common daily activity, andalso is an art of competition. Various aspects involved in sport eventssuch as human resources, buildings, investments, equipments, andanyother needs. Internal problems such as efforts to gain the best position in local, national, and international events implicate so manyother problems. Beside those problems, sport develops in anyscientific studies like Psychology of Sport, Politics of Sport, LawStudy of Sport, etc. All of those scientific studies are dimensions inwhich sport requires an academic conscience in investigating philosophical foundations of sport as science.
Kata Kunci:
Ilmu Olahraga, kesadaran, dasar filosofis.Kesadaran bahwa olahraga merupakan ilmu secara internasional mulaimuncul pertengahan abad 20, dan di Indonesia secara resmi dibakukan melaluideklarasi ilmu olahraga tahun 1998. Beberapa akademisi dan masyarakat awammemang masih pesimis terhadap eksistensi ilmu olahraga, khususnya diIndonesia, terutama dengan melihat kajian dan wacana akademis yang masihsangat terbatas dan kurang integral. Namun sebagai suatu ilmu baru yang diakuisecara luas, ilmu olahraga berkembang seiring kompleksitas permasalahan yangada dengan ketertarikan-ketertarikan ilmiah yang mulai bergairah menunjukkaneksistensi ilmu baru ini ke arah kemapanan.Filsafat, dalam hal ini dianggap memiliki tanggung jawab penting dalammempersatukan berbagai kajian ilmu untuk dirumuskan secara padu danmengakar menuju ilmu olahraga dalam tiga dimensi ilmiahnya (ontologi,epistemologi dan aksiologi) yang kokoh dan sejajar dengan ilmu lain. Ontologimembahas tentang apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain merupakan pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologi dari ilmu berhubungandengan materi yang menjadi obyek penelaahan ilmu, ciri-ciri esensial obyek ituyang berlaku umum. Ontologi berperan dalam perbincangan mengenai pengembangan ilmu, asumsi dasar ilmu dan konsekuensinya pada penerapanilmu. Ontologi merupakan sarana ilmiah untuk menemukan jalan penangananmasalah secara ilmiah (Van Peursen, 1985: 32). Dalam hal ini ontologi berperandalam proses konsistensi ekstensif dan intensif dalam pengembangan ilmu.Epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlibatdalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Ini terutama berkaitan denganmetode keilmuan dan sistematika isi ilmu. Metode keilmuan merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dantata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan yangtelah ada. Sedangkan sistimatisasi isi ilmu dalam hal ini berkaitan dengan batang
 Penulis adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Surabaya
http://htmlimg2.scribdassets.com/4dqsoymrpc1ckhbf/images/1-e00b924fa8.jpg
 
 Made, Dasar-dasar Filosofis
139tubuh ilmu, di mana peta dasar dan pengembangan ilmu pokok dan ilmu cabangdibahas di sini.Aksiologi ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatnya. Bila persoalan
value free
dan
value bound 
ilmumendominasi fokus perhatian aksiologi pada umumnya, maka dalam hal pengembangan ilmu baru seperti olahraga ini, dimensi aksiologi diperluas lagisehingga secara inheren mencakup dimensi nilai kehidupan manusia seperti etika,estetika, religius (sisi dalam) dan juga interrelasi ilmu dengan aspek-aspek kehidupan manusia dalam sosialitasnya (sisi luar aksiologi). Keduanyamerupakan aspek dari permasalahan transfer pengetahuan.Relevansi filosofis ini pada gilirannya mensyaratkan pula komunikasilintas, inter dan muiltidisipliner ilmu-ilmu terkait dalam upaya menjawab persoalan dan tantangan yang muncul dari fenomena keolahragaan. Dengan katalain, proses timbal balik yang sinergis antara khasanah keilmuan dan wilayah praksis muncul, dan menjadi tanggungjawab filsafat untuk mengkritisi,memetakan dan memadukan hal tersebut. Filsafat ilmu olahraga, dengan titik tekan utama pada tiga dimensi keilmuan ini – ontologi, epistemologi, aksiologi – mengeksplorasi ilmu olahraga ini secara mendalam. Ekstensifikasi danintensifikasi menjadi permasalahan yang amat menentukan eksistensi dan perkembangan ilmu keolahragaan lebih jauh dari hasil eksplorasi ini.
Akar Eksistensi Olahraga
Olahraga, sebagaimana yang dikatakan Richard Scaht (1998: 124), sepertihalnya sex, terlalu penting untuk dikacaukan dengan tema lain. Ini tidak hanyatentang latihan demi kesehatan. Tidak hanya permainan untuk hiburan, ataumenghabiskan waktu luang, atau untuk kombinasi dari maksud sosial danrekreasional. Olahraga adalah aktivitas yang memiliki akar eksistensi ontologissangat alami, yang dapat diamati sejak bayi dalam kandungan sampai dengan bentuk-bentuk gerakan terlatih.Olahraga juga adalah permainan, senada dengan eksistensi manusiawisebagai makhluk bermain (
homo ludens
-nya Huizinga). Olahraga adalahtontonan, yang memiliki akar sejarah yang panjang, sejak jaman Yunani Kunodengan
arete, agon, pentathlon
sampai dengan
Olympic Games
di masa modern,di mana dalam sejarahnya, perang dan damai selalu mengawal peristiwakeolahragaan itu. Olahraga adalah fenomena multidimensi, seperti halnyamanusia itu sendiri.Mitos dan agama Yunani awal menampilkan suatu pandangan dunia yangmembantu perkembangan kesalinghubungan intrinsik antara makna olahraga dan budaya dasar. Keduanya juga merefleksikan kondisi terbatas dari eksistensikeduniaan, dan bukan sebagai kerajaan transenden dari pembebasan. Nuansakeduniawian tampak pula pada ekspresi naratif tentang kehidupan, rentang luas pengalaman manusiawi, situasionalnya dan suka dukanya. Manifestasi kesakralanterwujud dalam prestasi dan kekuasaan duniawi, kecantikan visual dan campurandari daya persaingan mempengaruhi situasi kemanusiaan (Hatab, 1998: 98).
 
 Jurnal Filsafat, Agustus 2003, Jilid 34, Nomor 2

140Budaya Yunani Kuno juga sepenuhnya bersifat
agon
, persaingan. Puisi- puisi Homer dan Hesiod menampilkan diri sebagai konflik di antara daya-daya persaingan. Wajah realitas Yunani Kuno juga mewujud dalam daya-daya persaingan ini: atletik, keindahan fisik, kerajinan tangan, seni-seni visual,nyanyian, tarian, drama dan retorika (Crowell, 1998: 7).Signifikansi
agon
dapat lebih dipahami dari pandangan tentang idealkepahlawanan. Dalam
 Iliad 
-nya Homer, keberadaan manusia secara esensialadalah
mortal 
dan terarah pada takdir negatif melampaui kendali manusia.Kematian dapat mencapai kompensasi istimewa: keduniawian, kejayaan dankemasyhuran melalui pengambilan resiko dan pengkonfrontasian kematian padamedan perang, melalui pengujian keberanian manusia melawan satria lain dankekuatan nasib. Hal terpenting di sini adalah bahwa makna keutamaan terhubungdengan batas-batas dan resiko. Dapat digeneralisir – dalam
 Iliad 
itu – bahwatanpa kemungkinan untuk kalah atau gagal, kemenangan atau keberhasilan tak akan berarti apa-apa (Hatab, 1998: 98).Atletik (olahraga, dalam tulisan ini kadang-kadang disebut dengan atletik untuk kepentingan penyesuaian konteks) berperan penting dalam dunia YunaniKuno. Kata atletik berarti konflik atau perjuangan, dan dapat secara langsungdiasosiasikan dengan persaingan, di mana kompetisi di tengah-tengah kondisiketerbatasan mambangkitkan makna dan keutamaan. Apa yang membedakankontes atletik dari hal-hal lain dalam budaya Yunani adalah bahwa atletik menampilkan dan mengkonsentrasikan elemen-elemen duiniawi dalam penampilan fisik dan keahlian, keindahan tubuh, dan hal-hal khusus dari tontonandramatis (Hatab, 1998: 99).Kontes atletik, seperti yang tampak dalam
 Iliad 
, menunjukkan penghargaanyang tinggi masyarakat Yunani terhadap olahraga yang terrepresentasikansebagai semacam ritual agama dan terorganisir dalam mana kompetisi-kompetisifisik ditampilkan sebagai analog
mimetic
(secara menghibur) dari penjelasanagama – baik tentang nasib dan kepahlawanan – dan sebagai penjelmaan rincisignifikansi kultural
agon.
 Sekarang, signifikansi olahraga menurun di dunia Yunani, justru dengandatangnya statemen-statemen filsafat sebagai kompetitor kultural. Nilai pentingdari tubuh dan aksi secara bertahap dikalahkan oleh tekanan pada pikiran danrefleksi intelektual. Ketertarikan terhadap transendensi spiritual dan tertib alammenggeser pengaruh mitos-mitos dan religi seperti dijelaskan di atas. MeskipunPlato dan Aristoteles mengusung nilai penting latihan fisik dalam pendidikan,namun mereka memulai sebuah revolusi intelektual yang meremehkan nilai penting kultural keolahragaan – “remeh” justru karena keterkaitan erat olahragadengan tubuh, aksi, perjuangan, kompetisi dan prestasi kemenangan (Hatab,1998: 99).
Ekspresi Filosofis Kultur Olahraga
Friederich Nietzsche (terkenal dengan tesisnya: “Tuhan telah mati”)termasuk filsuf yang pemikiran-pemikirannya berhutang banyak pada dunia

Top of Form

Academia © 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar